Rabu, 02 September 2020

Luka

Namanya Rara, siswi SMA Pelita Jaya yang di nobatkan sebagai murid termalas periode 2020. Gaya fashion nya yang terbilang aneh juga selalu jadi pusat perhatian. Seperti hari ini, padahal semua orang tahu kalau sekarang adalah musim kemarau. Tapi, Rara malah memakai hoodie kesayangannya yang berwarna putih kecoklatan--alias putih buluk, kebayang kan pengapnya kayak gimana?

Jam istirahat sudah dimulai 10 menit yang lalu. Hampir semua murid sedang berdesakkan di kantin sekolah untuk mengisi amunisi, sedang lainnya bertahan di kelas karena membawa bekal sendiri. Lagi, namanya Rara, paling berbeda. Dia malah memilih tidur di kelas, dengan buku yang menutupi wajahnya.

"Orang lain yang liat pasti ngira lo itu bibliophile. Padahal aslinya make buku buat nutupin muka bantal penuh iler."

Suara seseorang mengusik ketenangan Rara. Buku yang tadinya digunakan Rara untuk menutupi wajahnya berpindah ke genggaman Dito, si pemilik suara tadi.

"Bacot, Dit. Ganggu orang tidur aja." ucap Rara sebal. 

Dito terkekeh, ia menarik kursi yang berada di depan meja Rara, lalu mendudukinya. Dipandangi gadis di depannya, Rara Ghanisa. Adik kelas sekaligus tetangga rumahnya yang sekarang hobi tidur. Gemas, tangannya mengacak-acak rambut Rara yang lurus sebahu.

"Buku tuh dibaca, Ra. Biar pinter."

Rara melirik sebal, rambut yang tidak pernah di sisirnya semakin tidak karuan bentuknya. "Ntar kalo gue pinter, bumi gonjang-ganjing." balas Rara seraya bangun dari kursi dan bergegas pergi.

"Loh, Ra. Mau kemana?" 

"Boker." Tandas Rara

°°°
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Rara sedang menyiapkan meja untuk makan malam. Satu persatu piring ia letakkan sesuai dengan tempat duduk yang tersedia.

Satu, dua, tiga, empat, selesai! Batinnya.

Rara tersenyum senang, ia mulai menyendokkan nasi goreng sosis buatannya ke dalam mulutnya. Namun, tiba-tiba wajahnya berubah murung, ia kembali teringat ucapan Bu Syndi--Wali kelasnya.

"Bu, tadi siang Rara di panggil wali kelas. Katanya nilai Rara jelek banget, padahal sebentar lagi kenaikan kelas. Terus, gurunya tadi bilang, kalau dia tahu waktu SMP Rara itu pernah pintar. Ha-ha lucu ya, bu?"

Rara menghembuskan nafas, menengadahkan wajahnya ke atas agar air matanya tidak jatuh. "Dia sok tahu ya, bu? Rara yang dulu udah lama mati, terkubur bersama jasad ibu."

Kegiatan makan malamnya berakhir dengan tangisan Rara yang pecah, suaranya terdengar pilu dan menyayat hati. Namun tetap saja, tidak ada yang mengelus bahunya untuk menenangkannya, tidak ada yang memeluk erat dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
 
"Andai dulu ibu gak nyelamatin Rara dari kecelakaan itu, pasti sekarang ibu masih hidup. Bapak dan abang gak akan pergi dari rumah ini. Harusnya Rara yang mati." Lirihnya seraya melukis garis-garis tak beraturan di pergelangan tangan hingga cairan kental berwarna merah perlahan menetes dan mengotori meja makan yang sepi.

Rabu, 22 April 2020

Siapa?


Bekas airmata semalam masih tercetak jelas di pipiku. Pagi sudah datang, tapi benakku masih terngiang akan pembicaraan dengan Pramudya kemarin siang. 

"Dia lagi, Ta?" Pram menarik kursi di depanku. Bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya, raut wajahnya jelas terlihat tidak tenang. 30 menit yang lalu aku menghubunginya dengan nada terisak, wajar saja jika ia khawatir. 

"Kamu tau aku mencintainya, Pram. Tapi semakin hari aku semakin sadar bahwa hanya aku yang mengejar. Entah karena dia terlalu jauh untuk ku gapai, atau aku yang sudah tidak ada tenaga untuk berjuang."

"Then let him go."

"Pram..."

"Tania, listen to me. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kamu paksakan. Salah satunya cinta. Kalau bertahan menyakitkan, lalu untuk apa kamu perjuangkan? Bukankah melepaskan adalah jalan terbaik?"

Saat itu juga airmata tak lagi dapat ku bendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Pram benar, ia selalu benar. Dari awal aku menyadarinya, tidak ada akhir yang baik dalam hubungan ini. Karena hanya aku yang selalu berusaha menerima dan mengerti, sedang ia tidak. Lalu, apa yang bisa aku pertahankan? Sebut aku bodoh, sebab cinta memang kadang membuat gila.

"Aku...Aku masih berharap dia bisa berubah, setidaknya itu alasanku."

Pram menghela nafas dan menatapku dengan matanya yang tajam namun teduh. Laki-laki ini tidak pernah lelah berusaha meyakinkanku untuk hal-hal yang benar. Sejak dulu, saat kami masih berseragam putih abu-abu, ia selalu menjadi orang pertama yang mendengar keluh kesahku. Ah, Pram memang sebaik itu.

"Kamu sudah menyimpan harapan itu sejak lama. Dan apa dia berubah, Ta? No, he don't. Jika dia benar mencintaimu, dia tidak akan membiarkan airmata turun deras di pipimu. You deserve get's better than him, trust me!"

"Ayolah, Ta. Lepaskan ia yang tidak bisa menghargai kamu. Kamu itu wanita istimewa yang tidak seharusnya terluka. Hapus airmatamu, tersenyumlah. Hatimu butuh kebebasan. Lagipula, hidungmu sudah merah seperti badut loh, Ta. Bagaimana mau dapat pengganti kalau mukamu jelek begitu."

Aku tersenyum mendengar perkataannya. Ada rasa sakit yang muncul ketika aku sadar bahwa ini harus di akhiri. Tapi, ada rasa lega juga yang hadir karena sebenarnya kalau dipikirkan lagi, bukan aku yang seharusnya merasa sedih. Lagipula isi dunia bukan dia saja. Masih ada orang-orang baik di luar sana yang akan menerimaku apa adanya. Ya, salah satunya sosok di depanku ini. Terimakasih tuhan. I lost him, but I found me. So I win, right?




Ini bukan tentang siapa yang pertama kali memulai. 
Bukan pula siapa yang mengakhiri. 
Ini tentang siapa yang mampu bertahan, atau justru pergi karena sadar ia tidak dihargai.
Sebab cinta itu bersama, bukan berjuang sendirian.
Tinggalkan jika menyakitkan, biarkan ia yang kehilangan.
Kamu harus terus melangkah, demi harapan baru yang membahagiakan.


Luka

Namanya Rara, siswi SMA Pelita Jaya yang di nobatkan sebagai murid termalas periode 2020. Gaya fashion nya yang terbilang aneh juga selalu ...