Bekas airmata semalam masih tercetak jelas di pipiku. Pagi sudah datang, tapi benakku masih terngiang akan pembicaraan dengan Pramudya kemarin siang.
"Dia lagi, Ta?" Pram menarik kursi di depanku. Bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya, raut wajahnya jelas terlihat tidak tenang. 30 menit yang lalu aku menghubunginya dengan nada terisak, wajar saja jika ia khawatir.
"Kamu tau aku mencintainya, Pram. Tapi semakin hari aku semakin sadar bahwa hanya aku yang mengejar. Entah karena dia terlalu jauh untuk ku gapai, atau aku yang sudah tidak ada tenaga untuk berjuang."
"Then let him go."
"Pram..."
"Tania, listen to me. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kamu paksakan. Salah satunya cinta. Kalau bertahan menyakitkan, lalu untuk apa kamu perjuangkan? Bukankah melepaskan adalah jalan terbaik?"
Saat itu juga airmata tak lagi dapat ku bendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Pram benar, ia selalu benar. Dari awal aku menyadarinya, tidak ada akhir yang baik dalam hubungan ini. Karena hanya aku yang selalu berusaha menerima dan mengerti, sedang ia tidak. Lalu, apa yang bisa aku pertahankan? Sebut aku bodoh, sebab cinta memang kadang membuat gila.
"Aku...Aku masih berharap dia bisa berubah, setidaknya itu alasanku."
Pram menghela nafas dan menatapku dengan matanya yang tajam namun teduh. Laki-laki ini tidak pernah lelah berusaha meyakinkanku untuk hal-hal yang benar. Sejak dulu, saat kami masih berseragam putih abu-abu, ia selalu menjadi orang pertama yang mendengar keluh kesahku. Ah, Pram memang sebaik itu.
"Kamu sudah menyimpan harapan itu sejak lama. Dan apa dia berubah, Ta? No, he don't. Jika dia benar mencintaimu, dia tidak akan membiarkan airmata turun deras di pipimu. You deserve get's better than him, trust me!"
"Ayolah, Ta. Lepaskan ia yang tidak bisa menghargai kamu. Kamu itu wanita istimewa yang tidak seharusnya terluka. Hapus airmatamu, tersenyumlah. Hatimu butuh kebebasan. Lagipula, hidungmu sudah merah seperti badut loh, Ta. Bagaimana mau dapat pengganti kalau mukamu jelek begitu."
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Ada rasa sakit yang muncul ketika aku sadar bahwa ini harus di akhiri. Tapi, ada rasa lega juga yang hadir karena sebenarnya kalau dipikirkan lagi, bukan aku yang seharusnya merasa sedih. Lagipula isi dunia bukan dia saja. Masih ada orang-orang baik di luar sana yang akan menerimaku apa adanya. Ya, salah satunya sosok di depanku ini. Terimakasih tuhan. I lost him, but I found me. So I win, right?
Ini bukan tentang siapa yang pertama kali memulai.
Saat itu juga airmata tak lagi dapat ku bendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Pram benar, ia selalu benar. Dari awal aku menyadarinya, tidak ada akhir yang baik dalam hubungan ini. Karena hanya aku yang selalu berusaha menerima dan mengerti, sedang ia tidak. Lalu, apa yang bisa aku pertahankan? Sebut aku bodoh, sebab cinta memang kadang membuat gila.
"Aku...Aku masih berharap dia bisa berubah, setidaknya itu alasanku."
Pram menghela nafas dan menatapku dengan matanya yang tajam namun teduh. Laki-laki ini tidak pernah lelah berusaha meyakinkanku untuk hal-hal yang benar. Sejak dulu, saat kami masih berseragam putih abu-abu, ia selalu menjadi orang pertama yang mendengar keluh kesahku. Ah, Pram memang sebaik itu.
"Kamu sudah menyimpan harapan itu sejak lama. Dan apa dia berubah, Ta? No, he don't. Jika dia benar mencintaimu, dia tidak akan membiarkan airmata turun deras di pipimu. You deserve get's better than him, trust me!"
"Ayolah, Ta. Lepaskan ia yang tidak bisa menghargai kamu. Kamu itu wanita istimewa yang tidak seharusnya terluka. Hapus airmatamu, tersenyumlah. Hatimu butuh kebebasan. Lagipula, hidungmu sudah merah seperti badut loh, Ta. Bagaimana mau dapat pengganti kalau mukamu jelek begitu."
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Ada rasa sakit yang muncul ketika aku sadar bahwa ini harus di akhiri. Tapi, ada rasa lega juga yang hadir karena sebenarnya kalau dipikirkan lagi, bukan aku yang seharusnya merasa sedih. Lagipula isi dunia bukan dia saja. Masih ada orang-orang baik di luar sana yang akan menerimaku apa adanya. Ya, salah satunya sosok di depanku ini. Terimakasih tuhan. I lost him, but I found me. So I win, right?
Ini bukan tentang siapa yang pertama kali memulai.
Bukan pula siapa yang mengakhiri.
Ini tentang siapa yang mampu bertahan, atau justru pergi karena sadar ia tidak dihargai.
Sebab cinta itu bersama, bukan berjuang sendirian.
Tinggalkan jika menyakitkan, biarkan ia yang kehilangan.
Kamu harus terus melangkah, demi harapan baru yang membahagiakan.
Sebab cinta itu bersama, bukan berjuang sendirian.
Tinggalkan jika menyakitkan, biarkan ia yang kehilangan.
Kamu harus terus melangkah, demi harapan baru yang membahagiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar